Dari Bapak Dadan Suhandana
Diversitas budaya bangsa Indonesia menjadi sebuah anugerah yang membuat kita terlena. Terlalu nyaman buat kita memiliki keragaman budaya ini. Hingga setelah lagu kita, baju kita, sampai masakan kita diambil orang baru kita menyadari bahwa ternyata kita kaya. Dalam contoh kecil, relatif mudah bagi kita saat ini untuk mendapatkan informasi seputar upaya akuisisi seni pertunjukan Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, alat musik Angklung, masakan Rendang dan berbagai derivat Batik yang didukung secara sadar oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia misalnya, atau pematenan penganan Tempe oleh Institusi riset di Jepang, dan Kopi Gayo oleh oknum warga Negara Belanda, dan seterusnya. Bahkan di dalam negeri, tak pelak lagi diversitas budaya telah membuat kondisi sosial kemasyarakatan kita rentan untuk bercerai berai. Hal ini harus segera kita sadari, dan harus kita yakini bahwa kalau tidak segera ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya maka kita akan sulit berharap tentang Kedaulatan Bangsa ini beberapa tahun mendatang.
Jika kita tilik lebih dalam, selama ini pengaturan kepemilikan ekspresi budaya tradisional di dunia belum pernah diatur secara jelas. Kepemilikan terhadap suatu properti tertentu lebih mudah bila dikaitkan dengan konsep kekayaan intelektual. Bukan berarti keduanya memiliki kesamaan konseptual tentang dasar kepemilikan atas properti tetapi hanya karena pengaturan kekayaan intelektual sudah lebih dulu ada dan mudah dalam proses penerapannya karena hanya menyangkut satu individu saja. Padahal sudah jelas keduanya sangat berbeda. Sedangkan ide tentang kepemilikan kekayaan intelektual sendiri bersumber dari gagasan John Locke pada bukunya bukunya The second Treatise of Governance (1690) yang lahir sebagai akibat dari pemaksaan kepemilikan yang dilakukan raja atas aset rakyatnya. Karena sifatnya yang berorientasi pada individu, ide kepemilikan pribadi dirasakan kurang pas jika dijadikan pijakan untuk melindungi kekayaan budaya disamping secara natural budaya bersifat komunal, dinamis, dan diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, kepemilikan budaya lebih tepat jika berdasar pada konsep kepemilikan kolektif bukan kepemilikan individu. Sehingga secara tegas kita bisa katakan bahwa pengaturan kepemilikan atas ekpresi budaya yang didasarkan pada kepemilikan individu adalah tidak tepat dan menjadi salah kaprah apabila terus dilakukan. Pengaturan kepemilikan ekspresi budaya tradisional di Indonesia, sebagaimana terefleksikan dalam pasal 10, Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 pada kenyataannya tidak memuat batasan-batasan yang dapat dikategorikan sebagai ekspresi budaya tradisional yang perlu dilindungi, bentuk perlindungan yang dilakukan, serta kewenangan regulator dalam mengatur penggunaan ekspresi budaya tradisional. Kesalahan ini seharusnya tidak dapat kita biarkan begitu saja, karena secara konseptual-pun Undang-Undang ini tidak sesuai. Sebuah tindakan nyata tentunya harus segera dilaksanakan.
Pada skala internasional isu tentang prosedur perlindungan ekspresi budaya tradisional sudah mulai ditangani serius oleh sebuah lembaga di bawah naungan PBB yang bertugas mengatur Kekayaan Intelektual dengan nama WIPO (World Intellectual Property Organization). Draft Ketentuan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional WIPO ini mestinya memberi tantangan tersendiri bagi kita sebagai bangsa yang sangat bhinneka dalam hal etnisitas dan kekayaan ekspresi budayanya dalam hal ketahanan budaya nasional. Sebagai gambaran, pada Pasal 2 draft tersebut disebutkan bahwa pemilik ekspresi budaya tradisional diserahkan pada Kustodian yaitu komunitas pemelihara dan pengembang ekspresi budaya tradisional. Hal ini kontras dengan lokalitas kita di Indonesia mengingat sebuah ekspresi budaya secara historis melekat pada daerah tertentu justru seringkali turut dikembangkan secara turun-temurun di daerah lain yang juga memiliki ekspresi budayanya sendiri. Dengan demikian, kita bisa menduga jika Indonesia meratifikasi draft ini maka akan timbul potensi permasalahan hak kepemilikan budaya akibat ketidakcukupan konsep dalam draft WIPO untuk merangkum kebutuhan perlindungan dan pengembangan budaya tradisional bagi negara-negara dengan diversitas kultural tinggi.
Draft WIPO juga menimbulkan permasalahan lain yang lebih serius yaitu hilangnya peran negara dalam realitas budaya nasional dengan mengkotak-kotakan penggiat budaya. Hal ini dapat mengurangi terjadinya interaksi antar komunitas budaya dan menimbulkan ketidakpedulian terhadap ekspresi budaya tradisional komunitas budaya lain. Sikap ketidakpedulian ini cenderung akan mendorong sifat chauvinistik kedaerahan dibanding sikap kebanggaan bersama sebagai satu bangsa. Hilangnya rasa kebanggaan budaya nasional yang terkotak menjadi kebanggaan budaya lokal dapat memicu pola disintegratif yang secara laten dapat merongrong rasa persatuan dan kesatuan yang justru akhir-akhir ini terasa sangat perlu kita bangkitkan sebagai bangsa.
Negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus secara tegas menyatakan posisinya dalam hal ketahanan budaya ini. Negara tak hanya berperan sebagai tentara penjaga garda atas kekayaan budaya kita tetapi juga sebagai pendorong majunya kretifitas perkembangan keragaman budaya ini. Di sisi lain Negara,Indonesia khususnya, harus berani menyatakan diri sebagai pemimpin yang berada di posisi paling depan dalam gerakan penyelamatan warisan dunia (World Heritage Conservation)karena Indonesialah yang paling mungkin memliki pengalaman dalam gerakan ini yang diperkuat dengan diversitas budaya yang dimiliki.
Ancaman nyata yang kita hadapi adalah jika ekspresi budaya tradisional yang kita miliki hilang atau diklaim oleh pihak lain maka identitas sebuah bangsa Indonesia akan ikut menghilang. Hal ini sangat membahayakan bagi kesatuan dan kedaulatan bangsa. Maka sebagai langkah awal, perlindungan ekspresi budaya tradisional seharusnya dapat segera dilakukan. Solusi yang tepat adalah dengan menyerahkan hak kepemilikan ekspresi budaya tradisional kepada negara dengan harapan hal ini mampu menumbuhkan rasa kepemilikan bersama sehingga kita dapat terhindar dari proses disintegrasi bangsa. Negaralah nantinya yang akan melakukan tindakan perlindungan terhadap ekspresi budaya yang bersifat mengatur, menjaga dan mengembangkan ekspresi budaya tradisional sebagai bagian dari ketahanan nasional. Secara khusus kita akan menyebutnya sebagai bentuk Ketahanan Budaya, yang secara aktual, konsep ini bersumber dari cara pandang kita akan budaya nasional kita dengan segala ke-bhineka-annya. Wawasan Nusantara yang berperspektifkan budaya daerah yang memperkaya budaya nasional yang sekaligus peka terhadap globalisasi merupakan bahan baku yang sangat kita perlukan dalam konteks ini. Penelitian akan kompleksitas Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam buku Solusi untuk Indonesia (2008) yang diterbitkan pusat studi kompleksitas Indonesia, Bandung Fe Institute, juga telah menginsyaratkan hal ini. Perspektif mutakhir atas budaya nasional yang memperkaya khazanah Wawasan Nusantara, memiliki suatu urgensi yang kuat bagi bangsa kita untuk memper-erat persatuan kita yang terkatung-katung di era liberal dan mengglobal saat ini.
Langkah nyata yang harus segera dilakukan dan mungkin dilakukan adalah membentuk aturan perundang-undangan dalam negeri yang menyediakan kebutuhan pengelolaan keragaman budaya nasional. Perlindungan secara hukum perundang-undangan terhadap keragaman budaya nasional, selanjutnya dapat dijadikan pijakan dasar untuk menjaga kedaulatan bangsa sehingga bisa diakui di dunia internasional. Lebih jauh, harus ada sebuah kesadaran dan pengakuan oleh dunia internasional bahwa perundang-undangan akan kepemilikan Negara terhadap ekspresi budaya, sangat diperlukan oleh Indonesia guna menjaga ketahanan nasional dan kedaulatan negaranya. Hal ini tentunya bisa dijadikan momentum bersama bangsa Indonesia dalam memaknai Kebangkitan Nasional yang baru, yang diwujudkan dalam tindakan nyata dalam menegakkan kedaulatan bangsa melalui Konsep Pertahanan Budaya. Sudah saatnya kini bangsa Indonesia membuat suatu perlindungan hukum semisal Paten Negara atau yang lebih jauh Pengakuan Internasional bagi Ekspresi Budaya Bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar