Krisis yang telah terjadi beberapa tahun terakhir ini belum menyadarkan kita akan betapa hebatnya Allah SWT yang maha mengatur. Kebahagiaan yang kita alami selama berpuluh-puluh tahun kini menjadi penderitaan, dalam seketika. Akan tetapi sungguh merupakan suatu hal yang ironis, meskipun kita berada dalam kondisi krisis, kita sepertinya tidak pernah merasakannya sebagai suatu hal yang merugikan. Dan hal yang lebih ironis lagi, kita belum yakin akan kekuasaan Allah. Kita masih terlalu berharap kepada makhluk. IMF dijadikan sebagai penolong kita, bukan Allah. Sementara itu di lingkungan masyarakat bawah, budaya kemenyan masih melekat erat. Kekuatan ghaib selain Allah dijadikan sebagai penolong dan penjaga harta mereka. Dzat Allah yang Ar Razzaq dan Al Malik telah pudar dari jiwa mereka, Naudzubillah. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam yang mengajarkan ketauhidan.
Agama Islam telah disepakati oleh para ulama, sarjana, dan pemeluknya sendiri sebagai agama tauhid. Maka hal inilah yang membedakan agama Islam dengan agama-agama lainnya, yakni monoteisme atau tauhid yang murni, yang tidak dapat dicampuri dengan segala macam bentuk syirik. Agama monoteistik atau agama tauhid memang hanya ada pada Islam.
Agama Islam mempunyai keunggulan yang luar biasa dalam hal aqidah ini. Tauhid secara etimologis memiliki arti mengesakan, menyatukan. Jadi, tauhid adalah agama yang mengesakan Allah. Dan rumusan yang paling jelas, singkat, tetapi komprehensif artinya, adalah kalimah tauhid sendiri yang berbunyi laa ilaaha illallaah. Kemudian, konsekuensinya bagi kita yang hidup setelah ummat Muhammad itu adalah Muhammadur Rasuulullaah. Jadi, kata-kata laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah adalah kalimah tauhid yang di dalam kehidupan seorang muslim diikrarkan dalam setiap duduk tasyahhud, bersyahadat, tasyahhada, yatasyahhadu, tasyahhudan. Jadi, kita bersyahadat, berikrar, dengan laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah.
Pengertian laa ilaaha illallaah secara singkat adalah, pertama, dengan ini seorang muslim dituntun agamanya untuk mengatakan 'No, Laa’, tidak terhadap semua fenomena dan segala keyakinan yang non ilahiah. Sehingga, tidak ada Tuhan selain Allah, laa haula wa laa quwwata illa billaah, laa ilaaha illallaah. Jadi, pertama-tama kita harus mengingkari. Sebelum meyakini Allah, kita mempunyai tugas mengingkari selain Allah. Dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) : 256, disebutkan, famayyakfur biththaaghuuti wayu’min billahi faqadistamsaka bil ‘urwatil wutsqaa lan fishaama lahaa wallaahu samii’un 'aliim. Barangsiapa mengingkari, mengkufuri, dan menolak thaaguuth (semua objek persenbahan) kecuali Allah, maka dia telah memegang tali yang kukuh. Thaaguuth bisa berwujud seorang dewa yang dikhayalkan manusia, bisa berwujud ideologi yang disembah oleh manusia, dan bisa berupa seorang pemimpin yang menganggap dirinya sebagai Tuhan, Fir’aun misalnya. Thaaguuth juga bisa berupa suatu mitos yang diyakini akan menyebabkan kecelakaan dan keselamatan suatu bangsa. Sedangkan thaaguuth dalam arti modern berupa tiran.
Maka, seorang manusia yang bertauhid pertama-tama harus mengatakan ‘No, Laa’, tidak terhadap setiap thaaguuth. Seorang penulis dari Mesir mengatakan, mengapa Namrud menjadi Namrud, Fir’aun menjadi Fir’aun? Ini karena pengikut-pengikutnya sudah rusak tauhidnya. Sehingga seperti Fir’aun, karena pengikut-pengikutnya sudah rusak tauhidnya, dia tidak berani mengatakan laa kepada ketidakbenaran. Ana rabbukumul a’laa, saya ini Tuhanmu yang tinggi, yang harus disembah.
Pemahaman terhadap makna tauhid akan menampilkan suatu pelajaran moral, moral lesson. Yang perlu diambil adalah, pertama, bahwa seorang muslim harus berani mengatakan tidak pada kebathilan. Hal ini karena seorang muslim adalah orang yang walam yakhsaa illallaah, tidak takut kepada segala sesuatu kecuali kepada Allah. Kedua, setelah dia meniadakan apa-apa selain Allah, maka dia beriman kepada Allah dengan tidak ada keraguan sedikitpun. Ketiga, seorang muslim mempunyai deklarasi kehidupan, inna shalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi Rabbil ‘alamiin, laa syariikalahuu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimiin. Ini adalah deklarasi kehidupan seorang muslim yang berlaku sepanjang hayat. Orang yang memiliki komitmen utuh kepada Tuhan, apalagi telah mendeklarasikan kehidupan seperti itu, maka ia akan melihat dunia menjadi satu panggung kehidupan yang jelas, mudah, karena kacamata tauhid ini.
Keempat, seorang muslim yang bertauhid berusaha menerjemahkan keyakinannya menjadi konkret, menjadi suatu sikap budaya untuk mengembangkan amal saleh. Dalam Al Qur’an ada ratusan ayat yang menggandengkan antara ‘aladziina aamanuu dengan wa ‘amilush shaalihaat. Jadi, iman dan amal saleh bergandengan dengan sangat dekat. Seolah-olah hampa dan kosong iman seseorang kalau tidak ada amal saleh yang menyertainya, karena amal saleh adalah pembukti adanya iman dalam hati seseorang.
Pada zaman apapun, pada kondisi apapun, usaha penegakan amal saleh sebagai pengejawantahan iman seorang muslim harus digalakkan. Lebih dari itu seorang yang bertauhid harus melihat dunia ini sebagai arena amal saleh. Jadi, mana saja yang belum ditanami amal saleh, kita tanami pohon tauhid tadi yang kemudian membuahkan setiap usaha yang bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar